Tarian Paradoks di Pentas Bumi
Beberapa hari yang lalu, saya membaca beberapa berita sekaligus, yang entah bagaimana persisnya, menciptakan kombinasi unik yang paradoksikal dalam benak saya.
Sama-sama di bulan April, diperingati Hari Kesehatan Dunia dan Hari Bumi. Di berbagai belahan dunia, ramai-ramai orang-orang memperingati kedua hari itu dengan beraneka macam cara.
Di Jakarta, diselenggarakan Green Fest yang merupakan hajatan edukasi seputar pemanasan global, hasil kolaborasi berbagai perusahaan besar semisal Unilever, Kompas, dsb. Bodyshop dan karyawan-karyawannya menanam seribu pohon. Yayasan Jantung Indonesia (YJI) bahkan mengolaborasikan kedua peringatan tersebut. Bersama Gubernur DKI dan seribu orang lainnya, mereka senam sekaligus menanam pohon di lingkungan Monas. Tema acara ini adalah gerakan hidup sehat untuk menghadapi pemanasan global. Apa hubungannya? Ternyata perubahan iklim dan gelombang panas sebagai efek sampingnya telah meningkatkan penyakit kardiovaskular dan gangguan pernapasan.
Pada bulan yang sama, di belahan dunia lain dipecahkanlah sebuah rekor Guiness. Di Montevidio – Uruguay, diselenggarakan World’s Biggest Barbecue. Sekurangnya 1,250 orang dan berton-ton arang dikerahkan untuk membakar 12 ton daging sapi. Bersama-sama dengan Argentina dan Brazil, Uruguay adalah salah satu importir daging sapi terbesar dan pemilik industri peternakan yang gigantis. Dan pesan yang ingin disampaikan pada upaya pemecahan rekor tersebut adalah: meski Uruguay hanya negara kecil, mereka memiliki daging sapi terbaik di dunia.
Tak hanya terbaik, Uruguay juga memiliki angka ternak per kapita tertinggi di dunia. Di Uruguay saja, ada 12 juta sapi diternakkan, dan setiap tahunnya 2,5 juta sapi baru yang lahir. Tak tanggung-tanggung, negara ini mendedikasikan 82% lahannya untuk industri peternakan. Sementara rekor eksportir tertinggi masih dipegang Brazil. Bayangkan, seperempat daging sapi yang beredar di pasaran dunia berasal dari satu negara itu tok.
Namun di balik potret kesuksesan negara-negara Amerika Selatan tersebut, menguak juga sebuah potret mengenaskan. Berada di sabuk Amazon, hutan yang begitu kaya, deforestation gila-gilaan menjadi harga yang harus dibayar demi menggemukkan industri peternakan.
Saya yakin saya tidak sendirian. Saya yakin kita semua bisa memahami, atau setidaknya merasakan, mata rantai sebab-akibat yang tergambarkan dalam berbagai situasi paradoksikal di atas. Ketika kedua ujung mata rantai bersatu, seperti ular yang melingkar dan akhirnya menelan mulutnya sendiri, kita tiba di lingkaran setan. Tak ada lagi ujung. Tak ada pangkal. Semua yang kita pikir jalan keluar malah mentok dan saling memakan.
Saya lantas teringat ilustrasi terkenal buatan M.C. Escher berjudul “Drawing Hands”. Dalam gambar ini, bisakah kita memutuskan: tangan mana yang menggambar mana? Kiri duluan atau kanan duluan? Pikiran kita, yang juga instrumen dualitas, akan terjebak dalam permainan logika tiada henti jika dihadapkan pada gambar semacam ini. Tangled hierarchy, adalah istilah yang kerap digunakan untuk menamai fenomena jalinan hierarkis nonlinear. Jalan keluarnya adalah dengan lompatan kuantum. Keluar dari jebakan logika. Mentransendensi dualitas dan melihat keduanya secara holistik.

Izinkan saya mengangkat satu pertanyaan dari Cy yang mampir ke blog ini: Kenapa kita tidak menghentikan saja segala kampanye global warming ini, karena bila mengacu pada Law Of Attraction atau buku “The Secret”-nya Rhonda Byrne, apa yang kita tidak inginkan jangan dikoar-koarkan, karena justru malah membawa kita ke realitas yang kita hindari, alias: what you resist, persists? Selain itu Cy menekankan lebih pentingnya persiapan menghadapi kematian. Yang dimaksud di sini adalah kematian spiritual.
Jika kita berhasil keluar dari perangkap dualitas pikiran, segalanya memang menjadi tiada. Tak ada lagi sebab akibat. Tiada kamu. Tiada saya. Tiada benar. Tiada salah. Tiada hitam. Tiada putih. There are no dancers, only the dance, kata guru saya. Tak ada pelaku. Dewi Lestari tidak pernah berbuat apa-apa. There is no doer. Saya dan Anda hanyalah topeng-topeng yang ‘dipinjamkan’ supaya semesta ini menari. Yang sejati adalah tariannya. Kita semua fana. Global warming barangkali hanya drama. Gerakan untuk melawannya pun juga drama.
Lantas, ketika kita berhasil sampai pada pemahaman itu, adakah itu berarti kita diam, tidak bertindak, tidak bersikap (baca: memihak)? Silakan dicoba. Saat Anda memutuskan untuk diam, diam itu jugalah drama. Satu drama di tengah lautan drama tak terhingga. Semua artikel saya hanya drama. Menanam pohon atau menebangi hutan pada esensinya pun cuma drama.
Sang Buddha, setelah puncak pencerahannya, konon berkata: There’s nothing to change. Tidak ada yang perlu diubah dari hidup ini. Beliau bahkan sempat menolak untuk mengajar. Namun, akhirnya, Sang Buddha memutuskan untuk menjadi guru. Mengajarkan dharma pada banyak orang hingga akhir hidupnya. Sang Buddha mengambil perannya sebagai seorang guru dan menjalankannya dengan sadar dan tekun.
Saya punya interpretasi pribadi atas kisah itu. Ketika Buddha mengatakan bahwa tidak ada yang perlu diubah, bukan berarti perubahan tak ada. Yang tidak ada adalah ‘aku’ sebagai pelaku. Namun selama kesadaran kita masih melekat pada jasad, tak satu pun dari kita luput dari peran-peran yang perlu kita jalankan. Bertapa sampai mati adalah peran. Jadi perusak hutan juga peran. Yang membedakan hanyalah tingkat kesadaran dalam menjalankan peran-peran tersebut.
Manusia boleh berbangga dalam ilusinya sebagai Sang Penguasa. Berada di ujung spektrum evolusi, manusia disebut sebagai makhluk autopoietik karena sistem inteligensinya yang sangat kompleks dan canggih. Namun makhluk autopoietik ini adalah biangnya paradoks. Dalam sosoknya yang serba canggih, sistem makhluk autopoietik sangat rentan dan interdependen pada lingkungannya. Hanya masalah kita menyadari atau tidak. Dalam pikiran kita, boleh jadi kita berilusi ini itu. Kenyataannya, semakin modern dan canggih kita berevolusi, semakin rentan dan rapuh tumpuan peradaban ini.
Kita semua berada di tengah dinamika agung ini. Tanpa kecuali, segalanya terikat dengan sifat dualitas. Yin dan Yang. Chaos dan order. Dunia kita yang unik dan paradoksikal ini secara konstan bertumpu pada benang tipis rapuh bernama ekuilibrium. Tak lama lagi, titik bifurkasi baru bagi peradaban manusia akan tiba. Ke mana kita akan mendarat? Tidak ada yang tahu pasti.
Dalam perjalanan ini semua, kita punya peran-peran untuk dimainkan. Saya memilih peran menjadi penulis. Dan saya hanya menulis apa yang saya suka. Dalam Bumi yang kian memanas, saya memilih peran sebagai berikut: saya berbuat apa yang menurut saya pas dengan kata hati saya. Dan saya menyuarakannya sebisa saya. Saya berbagi apa yang bisa saya lihat dan racik melalui filter pemahaman saya. Demikian juga dengan Anda semua.
Segala upaya kita tak pernah lepas dari paradoks. Saat seseorang mengambil posisi ‘berhenti menyuarakan isu global warming’, ia pun menjadi resistor bagi upaya saya dan semua orang lain yang memilih bersuara. Dan hukum “what you resist, persists” kembali berlaku baginya. It’s a zero sum game no matter how we want to play it, sahabat saya berkata.
Di sinilah pentingnya kesadaran, keelingan. Lakon apa pun yang kita pilih, lakukan dengan sepenuh-penuhnya hati. Jalankan dengan kesadaran sebisa-bisanya. Pada akhirnya, semua topeng ini lenyap, terdaur ulang oleh kehidupan. Cepat atau lambat. Lewat usia tua atau lewat kiamat.
Saya kenakan topeng ini, cangkang ini, selagi hidup masih mengizinkan. Dan akan saya tarikan tarian di pentas paradoks ini segemulai mungkin.
Indonesia - RRI : Nature-Green-EcoLiving
Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!
0 Response to "Tarian Paradoks di Pentas Bumi"
Posting Komentar