Minggu, 06 Juli 2014

Surat Suara Tanpa Angka


Surat Suara Tanpa Angka



Setelah empat tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, blog yang tadinya sudah ingin saya pensiunkan demi pindah ke alamat dan format baru. Berhubung rencana itu masih tertunda, sementara suara hati saya tidak bisa ditunda, maka kembalilah saya kemari. Sebagai seseorang yang selama ini apatis dan nyaman mengusung golput, tidak pernah saya duga urgensi menulis ini bakal didorong oleh peristiwa politik. 

Peristiwa politik yang satu ini memang tidak biasa. Sepanjang ingatan, belum pernah rasanya masyarakat begitu menggebu menggunakan hak pilihnya. Saya salah satu orang yang tertular semangat itu. Tahun ini, untuk kali pertama saya berpartisipasi dalam pilpres.

Memori kuat pertama saya tentang pemilu tertoreh tahun 1997, setahun sebelum reformasi, waktu saya akhirnya punya KTP dan cukup umur untuk mencoblos. Partainya saat itu masih merah-kuning-hijau dan kita sama-sama tahu siapa yang akan jadi pemenang. Sepuluh meter sebelum TPS di halaman kantor kelurahan, saya balik badan dan berlari pulang. Tidak sanggup rasanya ikut andil dalam peristiwa yang bagi saya menyalahi nurani. Protokol politik dikemas dalam judul pesta demokrasi. Sebagaimana sebuah protokol, kita sudah tahu awal dan akhirnya. Saya berontak dan tidak mau ambil bagian. Belakangan baru saya tahu, apa yang saya lakukan itu punya nama. Punya warna. Golongan putih. 

Esok lusa, saya memilih untuk meninggalkan golongan putih. Dan, jika warna terkait dengan partai politik, kali ini saya pun tidak mengusung warna tertentu. Cuma mengusung harapan saya. Harapan itu warna-warni untuk Indonesia yang bagai pelangi.

Alasan pertama yang menggiring saya mempertaruhkan suara adalah kerinduan memiliki pemimpin yang merupakan seorang pemelihara. Bukan sekadar penguasa. Kriteria tersebut lebih mudah saya temukan pada sosok orang yang berorientasi kerja dan implementasi, yang sudah terukur hasil kerjanya dan berprestasi, yang isi dan bukan kemasan. Dalam pemilu kali ini, saya melihat sosok itu ada.

Alasan kedua adalah preferensi kuat saya terhadap keberagaman. Bagi saya, keberagaman adalah esensi kehidupan. Dari kacamata keberagaman, Indonesia memiliki harta karun yang luar biasa. Bangsa ini lahir dari keberagaman, bukan keseragaman. Dari Sabang sampai Merauke, teruntai budaya, bahasa, kepercayaan, wujud manusia, yang berbeda-beda. Balik dari Merauke sampai Sabang, teruntai flora, fauna, ekosistem, kekayaan alam yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin kita ingkari itu semua hanya demi fantasi keseragaman segelintir pihak tertentu? Bagaimana mungkin kita mau didorong untuk membenci perbedaan yang padahal merupakan hakikat dan jatidiri kita? Ketika mereka yang kerap menyatakan perang terhadap keberagaman mendarat di sebuah kubu, saya memutuskan untuk berada di seberangnya.

Alasan ketiga merupakan faktor yang tidak saya perhitungkan sama sekali. Dari sekadar penonton pasif, saya mulai resah ketika dari hari ke hari cara-cara yang dipakai untuk bertanding dalam pemilu kali ini begitu keji. Gelombang fitnah yang terus membubung hingga ke titik ekstrem membuat rasa keadilan saya terusik. Kemenangan semegah ini seharusnya tidak diperoleh dengan praktik serendah ini, pikir saya. Sebagai Sarjana Ilmu Politik, saya tidak buta sama sekali. “Politik itu kotor” adalah mantra klasik yang kita dengar setiap saat, terjadi di sekitar kita setiap hari dalam berbagai bentuk. Namun, tidak berarti kita harus sampai kehabisan ruang untuk hati nurani. Dalam lumpur sepekat apa pun, jangan biarkan cahaya dalam hati kita habis tenggelam.

Didorong oleh ketiga alasan itu, saya lalu memutuskan untuk ikut turun. Dari cuma penonton yang bungkam, saya mulai bersuara. Menyatakan pilihan saya secara terbuka. Menawarkan bantuan sesuai kapasitas saya. Jujur, tidak banyak yang saya bisa lakukan. Dibandingkan dengan relawan-relawan di seluruh pelosok Indonesia yang bekerja keras berbulan-bulan, kontribusi saya hanyalah debu. Justru kebersamaan singkat dengan merekalah yang menjadi imbalan luar biasa bagi saya. Plus, satu kemasan teh kotak dan dua botol air mineral 330 ml.

Kita semua berada pada detik-detik penentuan. Kulminasi perjuangan kita ada di bilik suara. Di titik ini, saya ingin mulai melepas. Terbungkus doa yang saya ucapkan hingga menitik air mata, saya ikhlaskan apa pun hasilnya.

Siapa pun pemimpin bangsa ini nanti, pilihan saya atau bukan, saya tetap manusia Indonesia. Tidak ada yang bisa menggantikan dan merebut rasa cinta itu, bahkan jika hati saya patah karena pilihan saya bukan jadi juara. Di atas itu semua, Indonesia adalah tanah, air, udara, dan darah saya. Ibu kita semua. 

Saya berdoa agar kedamaian terus bersama kita. Saya berdoa agar Ibu Pertiwi ini kian disayangi dan dipelihara oleh anak-anaknya.

Saya berdoa, ke arah mana pun Indonesia melangkah dan siapa pun pemimpinnya, cinta yang sama tetap bisa menyatukan kita. Dalam masa paling sulit sekalipun, semoga kita mampu melihat satu sama lain, sesama anak-anak Ibu Pertiwi, dan masih menemukan sosok saudara. Meski kamu Satu dan saya Dua.

Siapa pun Anda, calon pemimpin bangsa, yang belum diketahui siapa orangnya saat tulisan ini diturunkan, ingatlah terus bahwa cinta Indonesia melampaui semua angka.

Cinta ini tidak bisa dibeli. Tidak bisa direbut. Ia bisa patah, tapi juga bisa sembuh kembali. Inilah cinta yang tidak bisa mati. Genggam terus saat Anda memimpin nanti.



Saudaramu se-Ibu,


Dewi Lestari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar