Hail, All Ye Writers!

Hail, All Ye Writers!


Februari 2001. Percetakan Dian Rakyat. Napas saya tertahan. Mata mengerjap takjub. Benda itu merembeskan hangatnya ke telapak tangan saya. Rasanya bagai menarik keluar seloyang bolu dari oven, mengepul dan harum. Kue Valentine terindah yang pernah saya lihat. Biru, berbinar seperti batu safir, dan ada segaris nama saya tercantum di sana, tercetak dengan warna putih. Pikiran saya seketika bergeliat dan menggali setumpuk kenangan masa kecil, merunut remah-remah roti yang menjadi penunjuk setapak menuju momen Valentine di percetakan besar di Pulogadung itu:

Umur 9 tahun, menulis di buku tulis bersampul foto artis Dian Pisesha dengan pulpen merk Le Pen bertinta biru, cerita berjudul “Rumahku Indah Sekali”, sedari kecil saya memang tidak peduli dengan tulisan pendek, atau artikel jurnalistik, saya cuma ingin menulis buku… lalu, setumpuk jurnal yang saya tulis sejak kelas 1 SMP dalam beraneka bentuk agenda dan kini saya simpan rapi dalam peti berwarna perak, agar kalau rumah saya kebakaran tidak perlu repot lagi geledah sana-sini, saya tinggal melempar peti itu keluar jendela demi menyelamatkan log perjalanan seorang pelayar kehidupan bernama Dewi Lestari… lalu, laptop pertama saya, merk Digital, tahun 1996, perkakas andal yang amat saya banggakan, yang sering membuat orang melirik iri karena waktu itu belum banyak orang ber-laptop, apalagi cewek belasan tahun yang tidak kelihatan seperti eksekutif atau dosen, bersamanya saya melahirkan “Filosofi Kopi”, “Perahu Kertas”, dan masih banyak lagi cerita pendek-panjang, tamat-gantung… semangat itu tidak pernah mati sekalipun tulisan saya lebih banyak dibaca diri sendiri atau oleh segelintir penghuni rumah Patrakomala 57 beserta anak-anak kosnya… dan akhirnya, pada hari cinta tahun 2001, saya rampungkan setapak itu. Berujung pada sebuah kitab biru berjudul “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” (KPBJ).

Datang dari dunia hiburan di mana promosi agresif dan persuasif menjadi sebuah kelaziman, tanpa banyak berpikir saya langsung menyusun rangkaian aktivitas untuk mempromosikan buku saya. Dari mulai launching, promo radio, bedah buku, booksigning, dsb. Tanpa bermaksud narsis, memang tidak berlebihan kalau Taufik Ismail berkata bahwa Supernova membawa kesegaran baru pada dunia sastra Indonesia. Bukan cuma masalah kontennya. Jika saya kilas balik ke belakang, salah satu kontribusi terbesar Supernova adalah perubahan paradigma pemasaran buku Indonesia yang dipicunya saat itu.

Dulu, promosi buku tidak jauh-jauh dari mencetak poster atau resensi di majalah. Talkshow, booksigning, dan launching, merupakan peristiwa langka yang hanya dicicip segelintir penulis beruntung. Baru setelah Supernovalah industri perbukuan bergerak ke arah marketing yang lebih ekspansif. Menjemput pembaca ketimbang menunggu pembaca yang datang ke rak buku. Promosi buku kini menjadi perihal yang wajib ditagih penulis pada penerbitnya.

Dulu, semua orang bilang saya gila ketika tahu saya mencetak 7000 buku sekaligus. Sebetulnya, saya bukan gila, melainkan polos dan goblok. Saya tidak tahu apa-apa soal pakem perbukuan, bahwa yang namanya best-seller saat itu adalah laku 3000 eksemplar dalam satu tahun, sehingga mencetak 7000 buku untuk cetakan pertama bisa dibilang perbuatan bunuh diri atau malah ultra PD. Sekarang buku saya dicetak dalam satuan 10.000 eksemplar. Paling ekstrem bahkan pernah diterobos oleh “Supernova: Akar”, yakni dicetak 40.000 buku sekaligus.

Boleh dibilang saya memang nekat karena berani menguras semua tabungan pribadi saya untuk memproduksi Supernova KPBJ pertama kali, tapi saya tidak menganggap itu gila. Bagi saya, itu justru harga yang teramat murah untuk terwujudnya sebuah mimpi. 16 tahun saya menanti. Saya merasa berutang pada Dewi Lestari umur 9 tahun. Saya ingin buku tulisnya bermetamorfosa menjadi sebuah buku betulan. Dari tulis tangan tinta biru menjadi buku cetak bersampul biru. Dari sampul foto artis ’80-an pelantun lagu-lagu sendu menjadi foto dirinya sendiri yang tercetak mungil di sampul belakang. Saya tidak peduli uang saya kembali atau tidak. Saya bahkan tidak peduli ada orang yang baca Supernova atau tidak. Saya melakukan itu semua untuk diri saya, untuk si Dewi kecil.

Rangkaian aktivitas Supernova KPBJ lantas bergulir seperti bola salju yang makin besar. Saya bahkan tidak pernah merancang apa-apa lagi, tinggal mengatakan ‘ya’ pada semua pihak yang menawarkan untuk berpromo, dari mulai toko buku, radio, kampus, sampai mall. Seorang sahabat bahkan pernah membuatkan roadshow tiga hari di Yogya, lengkap dengan kru teve, tanpa saya mengeluarkan biaya sepeser pun. Sekurang-kurangnya saya bedah buku 40 kali dalam tiga bulan, belum ditambah interview media, dsb. Seumur hidup, belum pernah saya harus menghadapi publik dan media seintens itu. Sesering itu. Sampai pada satu titik… saya muak.

Satu hari, seusai bedah buku di Gramedia di kota Yogya, saya lari ke ruang karyawan, mengunci diri, hanya untuk menangis sejadi-jadinya. Mengulang-ulang hal serupa, mendengar pertanyaan yang itu-itu lagi, membuat saya merasa seperti kaset soak. Ingin bungkam. Ingin masuk gua dan kembali hibernasi. Promosi Supernova KPBJ memakan waktu saya selama 1,5 tahun. Saya nyaris tidak punya kesempatan untuk menulis episode berikutnya. Energi saya terkuras habis. Semangat saya meredup. Saya cinta berkarya tapi mempromosikan karya ternyata adalah hal yang sama sekali berbeda.

Namun setiap karya membawa pengalaman dan pelajaran yang selalu unik dan berbeda. Tujuh tahun sejak penerbitan Supernova, sudah enam judul buku yang saya rilis. Angka yang cukup bagus dan terbilang produktif. Masa-masa sukar dalam setiap proses kreatif maupun fase pemasaran berhasil saya lalui dan semua itu terus memperdalam pemahaman saya akan menulis, industri perbukuan, dan juga akan diri saya sendiri.

Saya ingin berbagi sesuatu dengan Anda semua, penulis atau bukan, sekelumit perenungan dari perjalanan saya menjadi seorang penulis:

Pertama, menulis adalah hal yang sangat mendasar, sama seperti berbicara. Ini adalah keistimewaan manusia yang tidak dimiliki spesies lain. Jangan pernah tenggelam dalam asumsi bahwa hanya mereka yang berbakatlah yang bisa jadi penulis. Selama Anda berteguh hati untuk menggali ke dalam diri, niscaya Anda akan menemukan sebuah “sumber air abadi”. Semacam sungai bawah tanah yang selamanya mengalir dan berair. Inilah tempat para pujangga mereguk inspirasi untuk kemudian dibawa kembali ke permukaan dalam kemasan berlabelkan nama mereka. Namun, di sumbernya, air itu tidak bernama dan bisa dimiliki siapa saja.

Ketika hadir fase yang disebut-sebut “nggak ada inspirasi”, atau “habis ide”, sesungguhnya bukan inspirasi atau ide yang tahu-tahu minggat dan menguap. Sumber air itu tidak pernah kering. Pipa kitalah yang seret, kotor, atau tersumbat. Inspirasi mengaliri Anda saat saluran Anda memang sudah disiapkan dan dijernihkan. Ia tidak ke mana-mana. Tinggal menunggu Anda menangkap dan mendengar saja.

Kedua, “Menulis” dan “Penulis” adalah dua hal yang sangat berbeda. Jangan sampai terkecoh, karena dalam perjalanannya kelak, keduanya bisa tertukar atau terselamur. Menulis adalah aktivitas yang hidup; kendaraan Anda untuk menggali dan menemukan sumber ilham di bawah sana. Penulis adalah titel yang disandangkan orang lain bagi Anda. Semacam trofi yang dihadiahkan publik atas penggalian Anda ke dalam. Namun trofi itu hanyalah pajangan mati, dan ilusi yang dihadirkannya berkekuatan luar biasa dan dapat membius Anda. Menyelimuti Anda dengan kabut yang pada akhirnya mengecoh semua, termasuk diri Anda sendiri. Seseorang bisa disebut Penulis meskipun ia berhenti menggali. Dan seseorang yang selalu menggali belum tentu punya predikat Penulis.

Untuk tetap menulis, terkadang kita harus berani mengorbankan predikat kepenulisan kita. Meninggalkan permukaan, benderangnya lampu sorot dan elu-eluan massa, kembali menyelam, melebur dalam kegelapan gua, kembali bertarung dengan halaman kosong tanpa peduli apa yang terjadi di atas sana. Hanya dengan menulis Anda bisa kembali mereguk air itu. Sebaliknya, titel penulis mengeringkan kerongkongan dan berisiko membuat Anda mati kehausan. Jadi, jangan salah membedakan mana menulis dan mana “kabut”-nya.

Terakhir, dan terpenting. Sampai Anda merasakan sendiri, jangan percaya kata-kata saya ini: menulis adalah meditasi. Dalam satu percakapan, Reza pernah berkata: jika membaca adalah proses untuk mencari kebenaran, maka menulis adalah proses di mana kita menemukan kebenaran kita sendiri. Saya amat sepakat. Bukan karena kalimatnya indah, tapi karena sungguh-sungguh saya alami. Otentisitas hanya lahir jika Anda mau bertarung dengan diri sendiri. Bukan dengan sekadar berlindung di balik tameng kebenaran warisan, kata orang, atau segunung kitab. Jika religi dimaknai sebagai sesuatu yang hidup, empiris, otentik, dan bukan sebaris huruf di KTP, then writing IS (one of) my religion(s).

Hingga sekarang, saya masih terus belajar, menggali, bergelut dan bergulat. Khususnya pada masa saya aktif memasarkan buku, pada saat itulah kabut kepenulisan terasa sangat menyesakkan. Dan ironisnya, pada saat itu jugalah paling sering terjadi kesalahpahaman antara saya dengan orang-orang di sekitar saya. Inilah masa yang paling penuh cobaan dari berkarya. Ketika saya tak lagi berduaan dengan karya saya layaknya pasangan dimabuk cinta yang merasa dunia cuma milik berdua. Begitu karya dilahirkan ke dunia materi, dibungkus dalam kemasan, yang terjadi adalah hubungan ramai-ramai. Ribut dan pengap. Tarik-tarikan kepentingan.

Sungguh sukar untuk membahasakan apa yang terjadi dalam diri saya tanpa digeneralisasi secara terburu-buru sebagai ‘rumit’, ‘tidak kooperatif’, ‘terlalu seniman’, ‘tidak jelas’, ‘suka ngilang’, ‘susah dihubungi’, dsb. Sungguh sukar untuk berjalan seimbang di atas tali tipis dengan dua lusin bola yang harus terus berputar di udara. Dan lebih sukar lagi untuk tiba pada pemahaman ini dan menerimanya dengan ikhlas. Menulis dan menjadi penulis; berkarya seni dan menjadi seniman, pada akhirnya adalah paduan magis antara surga dan neraka yang di dalamnya kita bertumbuh kembang untuk menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kedua gerbang itu harus dilalui untuk akhirnya bebas dari jerat keduanya.

Teman-teman semua, hanya itulah yang patut diingat dari perjalanan saya berkarya. Sungguh.

Semoga Anda bisa memetik manfaat dari tiga renungan sederhana ini. Penulis atau bukan. Seniman atau tidak. Pada dasarnya, kita semua sama sekaligus berbeda. Kedua gerbang yang harus diterabas batasnya agar jiwa kita bebas seutuhnya.

Indonesia - RRI :


Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!

0 Response to "Hail, All Ye Writers!"

Posting Komentar