A Night With Vikram
Minggu lalu (14/10) saya mendapatkan kesempatan langka. Sebuah jamuan makan malam di bilangan Darmawangsa bersama seorang penulis dunia yang sangat sohor: Vikram Seth.
Saat saya dan Reza tiba, sudah ada beberapa teman penulis yang berkumpul: Djenar Maesa Ayu, Richard Oh, Nirwan Arsuka, sang tuan rumah Rayya Makarim, dan teman-teman lainnya. Saya kangen mereka. Ada citarasa khusus yang selalu tercicip tiap teman-teman penulis ini berkumpul. Saya tidak bisa mengartikulasikannya. Yang jelas atmosfer ini sangat khas, terasa baik dalam topik obrolan maupun lelucon yang terlontar. Dan saya rindu itu.
Vikram datang bersama Janet DeNeefe, pemrakarsa sekaligus direktur dari Ubud Writer’s Festival yang mendatangkan Vikram ke Indonesia untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Goenawan Mohammad pun muncul di pintu sambil melambaikan tangan. Lengkaplah sudah tamu undangan.
Makan malam diadakan di halaman belakang. Kombinasi indah antara langit dan siluet pepohonan menaungi kami. Namun berhubung ketersediaan waktu saya malam itu terbatas, terpaksa saya buru-buru ikut menyodok giliran bersama Richard untuk meminta tanda tangan Vikram di buku-bukunya. Richard membawa setumpuk koleksi novel Vikram miliknya. Saya cuma punya satu: “An Equal Music”.
* Vikram & Richard Oh

* Vikram & Me

Pemandangan sureal pun terjadi. Vikram dan Richard bercakap-cakap lancar dalam bahasa Mandarin. Bergantian secara frantik, Vikram bicara dengan bahasa Inggris yang sempurna. Belakangan saya tahu dia pun bisa berbahasa Arab. Dan, tentu saja, Hindi. Vikram bahkan menuliskan nama saya dalam bahasa Hindi di atas tanda tangannya.
Dalam pembicaraan yang terbilang cukup singkat, hanya sekitar sejam, saya merasakan kesan yang mendalam. Anehnya, kesan ini tidak jelas tentang apa dan bagaimana. Pembicaraan kami terbilang ringan-ringan saja, bahkan konyol. Kami ngobrol seputar kebiasaan orang Batak yang gemar memberi nama “ajaib”, sekilas tentang kisah pewayangan, dan sekelumit aneka pengalaman Vikram sebagai seorang penulis kelas dunia.
Namun, bagi saya ada satu hal yang mencuat dari sosok Vikram Seth: rasa ingin tahu. Saya mengamati bagaimana ia begitu fokus sekaligus luwes saat bercengkerama dengan kami satu per satu, berusaha menghafal nama kami dan menelusuri maknanya, bagaimana ia lebih suka bepergian sendiri karena itu membuatnya lebih leluasa berinteraksi dengan orang-orang, bagaimana ia tahu bahwa ada budaya Minang yang bertetangga cukup dekat dengan budaya Batak—dan hal ini ia ketahui hanya lewat obrolan dengan sopir taksi yang mengantarnya ke Darmawangsa.
Rasa ingin tahu seperti itulah yang selalu berusaha saya artikulasikan saat ditanya: apakah modal terbaik seorang penulis? Seorang penulis adalah petualang. Ia berjalan menuju tempat-tempat dalam dirinya dengan lebih rajin dan lebih eksploratif ketimbang turis biasa. Ia tidak mengambil “paket wisata” bersama serombongan orang banyak lainnya. Ia pergi sendiri, berbekal intuisi dan rasa ingin tahu, siap dengan risiko tersasar, gagal, dan jadi gembel. Ia mengamati, bergelut dan bergulat dengan pengamatannya, kemudian meramu dan menyajikannya bak seorang koki menyuguhkan hidangan terbaiknya.
Seorang penulis tidak mutlak memiliki kehidupan dan pengalaman pribadi yang serba luar biasa. Namun seorang penulis harus memiliki hasrat menggali yang luar biasa, yang menjadikan hal kecil sekalipun menjadi istimewa dan bermakna. Ia mampu menemukan mutiara dalam setiap pengamatan, dalam setiap penelusuran. Dan yang lebih penting, ia mampu menyampaikannya dengan jernih. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk dirinya sendiri. Seorang penulis berkata-kata bukan untuk melayani orang lain, melainkan untuk menuntaskan keingintahuannya sendiri terlebih dulu.
Amitav Gosh, salah satu penulis dunia yang juga pernah hadir di Ubud, pada salah satu sesinya berkata: “Pada dasarnya saya hanya menuliskan buku yang ingin saya baca.” Saat mendengar kalimat itu saya pun terpana. Dalam hati saya berseru: itu dia! Itulah yang selalu saya rasakan sejak pertama kali menyadari hobi satu ini. Seorang penulis selalu mengawali perjalanannya dari meniti diri sendiri. Jadi, tidaklah berlebihan jika dibilang bahwa menulis adalah perjalanan menemukan diri. Dan dalam perjalanannya, kita bisa tersesat, bahkan terpaksa merelakan kewarasan, citra diri, dan aneka bungkus “masuk akal” yang kita dapat dari lingkungan eksternal. Tersesat atau tidak, pada akhirnya perjalanan yang ditempuh seorang penulis adalah perjalanan tanpa tujuan. Apa yang kita temui dalam perjalanan itulah yang bermakna. Berisiko. Berharga.
Duduk di bawah pepohonan dan langit malam yang jernih, bersama para “petualang” lain, membuat saya sejenak menghela napas. Vikram berkata, salah satu kendala para penulis adalah mereka tak sempat lagi membaca. Saya sendiri mengakui itu. Membaca terkadang menjadi kemewahan atau sekadar bagian dari fantasi hari tua. Namun terkadang, membaca tidaklah terbatas pada teks di atas kertas. Udara ini, atmosfer ini, obrolan-obrolan ringan ini, gelas-gelas kosong yang minta kembali diisi… menjadi salah satu buku yang paling mengesankan yang pernah saya baca.
Sekelebat hadirnya seorang petualang bernama Vikram Seth, bersama sekumpulan petualang lain yang berceletuk dan terbahak bersama, sungguh membuat saya merasa perjalanan ini tidak sia-sia.
Begitu juga atas hadirnya Anda semua.

Indonesia - RRI : On Writing and Writership
Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!
0 Response to "A Night With Vikram"
Posting Komentar