Satu Halaman – Satu Jam
Mohon maaf sebelumnya. Kali ini tulisan saya lebih bersifat pelepasan unek-unek. Curhat, barangkali istilah yang cukup pas. Dan untuk itu, saya akan menulis relatif singkat dan tanpa banyak mikir.
Pagi ini (13/5), sambil menunggu siaran di Trax FM – Jakarta, saya membuka koran Kompas. Headline halaman depan tentang BBM. Sisa isinya bervariasi. Seperti halnya koran-koran lain, lebih banyak kabar buruk ketimbang kabar baik. Entah karena memang kabar buruk lebih menjual, atau kita lebih senang berkubang dalam keburukan, atau memang kabar buruklah yang lebih banyak mengepung kehidupan kita. Pagi ini, saya punya niatan iseng ingin menghitung proporsi kabar buruk, kabar baik, dan kabar netral.
Niatan iseng itu berhenti seketika ketika saya menemukan artikel berjudul “Es di Arktik Akan Lenyap Tahun 2008” (maaf kalau tidak identik sama, berhubung korannya milik ruang tunggu radio jadi tidak saya bawa pulang, akibatnya penyebutan judul itu berdasarkan ingatan semata). Artikel tersebut dimuat di halaman berita Internasional. Sorry, but I have to say, it was poorly written. Apa yang ditulis di judul tidak diterangkan di dalam artikelnya. Dan isi artikel itu sendiri hanyalah potongan-potongan informasi tanpa ada satu tujuan atau pesan yang koheren. Yang juga membuat saya miris adalah, bagaimana berita itu—dari masalah penempatan, besarnya kolom, dan kualitas tulisan—seolah menunjukkan level urgensi yang diusung oleh media nasional dalam memberitakan masalah lingkungan global.
Boleh jadi ini cuma pendapat saya seorang, tapi sungguh saya merasa media kita terlena dalam infomasi nggak penting yang dipikirnya penting, dan informasi penting yang diperlakukan tidak/kurang penting. Saya bahkan belum bicara soal televisi—media paling powerful dengan penetrasi hingga bilik kita yang paling pribadi sekaligus media yang paling sesak oleh sampah dan kedunguan kronis yang dipelihara atas nama rating dan iklan.
Minggu lalu, saya diminta menjadi bintang tamu/narasumber oleh sebuah acara pagi salah satu teve swasta. Saya diminta untuk ngomong soal pembatasan kantong plastik, vegetarian sebagai gaya hidup ramah lingkungan, pengolahan kompos, dsb. Tentunya saya bersemangat. Saya membaca skrip dan mempersiapkan aneka jawaban untuk sederet pertanyaan tsb. Ketika kamera berjalan, yang terjadi adalah balap lari antara informasi, durasi, dan jeda iklan. Saya cuma punya lima menit untuk menjelaskan hal-hal yang seharusnya bisa diseminarkan satu minggu. Itu pun bercampur lagi dengan gimmick soal jajanan khas Betawi.
Saat saya mengeluhkan waktu bicara yang terlalu singkat, semua orang di tim produksi menyambut dengan kor keluhan serupa. Iklannya saja bisa enam menit, kata mereka. Lebih panjang dari jatah saya bicara. Durasi singkat + materi padat + iklan banyak = informasi encer. Dan demikianlah formula kebanyakan program talkshow teve kita, yang padahal secara konsep tampak menarik dan (berusaha) mencerdaskan.
Saya termenung panjang sesudah penampilan supersingkat tadi. Bagaimana caranya kita bisa terjaga jika media nasional kita malah terus meninabobokan kita semua? Tidak berarti informasi yang tajam dan edukatif tidak bisa menghibur, tapi kalau kita hanya meluangkan sesuatu sekritis masalah lingkungan dalam satu segmen di sebuah talkshow empat segmen plus dipepet kiri kanan oleh info kuliner dan tetek bengek lain, atau menempatkan berita cairnya Arktik dalam satu kolom kecil di surat kabar paling tebal se-Indonesia, tidakkah ini yang menggelikan?
Empat sampai lima jam teve kita bisa manteng menampilkan penyanyi-penyanyi didampingi ibunya atau seseorang yang dianggap belahan jiwanya, atau seleb-seleb yang kurang bisa nyanyi berlomba menjadi penyanyi top pilihan pemirsa. Saya tidak menafikan kenyataan kalau acara yang demikian menghibur, ditambah ungkapan-ungkapan standar semisal “hidup sudah susah, jangan bikin tambah susah”, “yang begitulah yang disukai rakyat”, dan seterusnya. Namun jika kita hanya terpaku di sana, maka kita lupa betapa tajam dan berkuasanya alat bernama media. Dan kita seperti anak kecil bermain dengan bom atom. Tidak sadar betapa dahsyatnya “mainan” di tangan kita.
Kalau kita bisa berteriak "rakyat kita bodoh", "rakyat kita maunya dibohongi", "rakyat memang senangnya acara yang nggak mutu", lalu terus menyuapi mereka dengan “makanan pikiran” yang tak bermutu (baca: nggak penting) hanya supaya mereka terpuaskan, lalu rating naik, lalu iklan naik, lalu untung naik, dan terakhir kedua tangan kita naik ke atas sambil berkata “yah, itulah kenyataan media,”… menurut saya, itulah kebodohan yang paling ultimat.
Saya sadar, ada banyak isu penting lain di luar sana. Ada banyak informasi edukatif yang bisa dibagi. Dan, sekali lagi, boleh jadi ini hanya pendapat saya seorang, tapi menurut saya, dalam periode ini tidak ada isu yang paling urgen selain penyelamatan Bumi. Bukan cuma sekadar gembar-gembor soal pemanasan global, melainkan bagaimana kita bisa menyajikan dan membantu transformasi kesadaran manusia untuk kembali bersahabat dengan lingkungan, meniti pulang ke jantung alam, dan terakhir, meniti pulang ke jantung jatidirinya.
Malam ini saya berdoa, di tengah hiruk-pikuk informasi di media yang menggempur panca indra kita, akan ada satu acara yang dikhususkan untuk meningkatkan kesadaran tentang kondisi lingkungan. Dari mulai perbaikan relasi manusia dengan alam di level pemahaman sampai tips-tips praktis yang bisa dilakukan di setiap rumah. Akan ada saatnya bagi media cetak untuk sudi meluangkan satu halaman mereka khusus untuk menyiarkan hal-hal yang dapat membantu Bumi dan peradaban agar bisa hidup berdampingan secara harmonis.
Satu halaman. Satu jam.
Saya berdoa.
Indonesia - RRI : On Life and Living
Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!
0 Response to "Satu Halaman - Satu Jam"
Posting Komentar