Dua Pertanyaan Yang Berarti

Dua Pertanyaan Yang Berarti


Tulisan berikut terlahir dari komentar yang dilontarkan dalam forum blog ini. Untuk itu, saya sangat berterima kasih pada Heikal, yang dalam pertanyaannya telah memberikan ruang bagi satu perenungan penting bagi kita semua. Heikal mengungkapkan sesuatu, yang menurut saya, juga kerap terlintas dalam benak kita semua:

“Tidakkah penghentian konsumsi protein hewani akan menghasilkan masalah baru? Misalnya konsumsi telur dihilangkan. Entah berapa pekerja yang ikut kehilangan pekerjaan seiring dengan menghilangnya telur. Pekerja di peternakan, buruh pabrik pakan ternak, dan lingkungan tempat pabrik itu berada kehilangan potensi ekonominya. Dan hal ini akan berlangsung di seluruh dunia… Belum daging, ayam, ikan (tawar & laut), dan produk hewani lainnya. Berarti semua peternakan penghasil daging, juga nelayan, pasar ikan, dan semua mata rantai jaringan distribusinya, dan semua pekerja sampai lini terakhir, akan berpotensi kehilangan pekerjaannya. Mereka semua akan jadi korban kebijakan vegetarian. Terbayang di benak saya kerusuhan massal yang sekiranya mungkin terjadi… Ketika harga solar naik, pemerintah sulit membantu para nelayan karena mereka adalah nelayan! Mereka tidak mampu beralih profesi menjadi petani, misalnya… Pola vegetarian bisa diterapkan, tapi tidak dalam waktu singkat. Mungkin, sekali lagi mungkin, harus melalui proses, katakanlah, kerusuhan, harga-harga produk pertanian yang meningkat, kemiskinan bertambah, dan tetap terjadi pertempuran kepentingan antara penggunaan lahan untuk pertanian sebagai konversi dari industri hewani, dengan kebutuhan manusia akan lahan untuk tempat tinggal.”

Mari kita renungkan perlahan dan mendalam. Sekalipun pertanyaan dan pernyataan di atas sangat menarik dan mengusik, menurut saya semua itu bersifat spekulatif, dan jika ada yang tergerak untuk menjawab, maka jawaban yang diberikan pun otomatis juga cuma spekulasi belaka. Bagaimana jadinya jika satu dunia serempak sim-salabim jadi vegetarian? Saya tidak tahu. Saya tidak yakin ada yang tahu. Saya bisa saja berfantasi demi menjawabnya, tapi tentu tidak akan banyak berguna. Jadi, pertama, mari kita pilah mana fantasi, mana fakta.

Faktanya, gaya hidup termasuk pola makan kita memiliki jejak gas rumah kaca yang tidak kecil. Hal itu bisa dihitung secara matematis, dan sudah diungkap di mana-mana. Jika masing-masing dari kita menghapus jejak tersebut, sedikit atau sekaligus, secara matematis tentunya terjadi perubahan pada wajah Bumi.

Namun, tolong, sekali lagi kita renungkan pelan-pelan. Pola mental kita dapat menciptakan trik yang amat halus. Alih-alih berubah, kita malah asyik berspekulasi, membayangkan chaos yang terjadi kalau orang sedunia mengubah pola makannya, atau gaya hidupnya. Dan lagi-lagi, kita menunda perubahan demi penelusuran spekulasi. Mari kita pilah sekali lagi, mana fakta di depan mata, mana fantasi di kepala. Saya bisa saja berfantasi: apa yang terjadi kalau semua orang berhenti mengonsumsi BBM? Apa yang akan terjadi dengan seluruh pembangkit listrik di dunia, seluruh mesin-mesin yang digerakkan oleh BBM? Apakah mereka akan jadi onggokan besi tua tak berguna? Bagaimana nasib karyawan tambang minyak di seluruh dunia, Pertamina dan seluruh perusahaan minyak di dunia, tukang isi bensin, dll? Bukankah ini akan mengakibatkan pengangguran gila-gilaan? Kemiskinan, kerusuhan, bahkan perang? Satu penelusuran yang sangat fantastis dan menarik, tentunya. Kita bisa membayangkan apa pun, tapi bayangan Anda dan saya belum tentu benar. Mengapa? Karena semua itu adalah khayalan masa depan yang belum terjadi.

Tapi ini yang terjadi: dunia memasuki krisis energi. BBM adalah sumber energi yang punya umur karena tidak bisa diperbaharui, jadi satu saat pasti habis. Semua itu adalah fakta.

Sama halnya dengan vegetarian. Teman saya bahkan pernah berfantasi, kalau semua orang jadi vegetarian, rantai makanan di Bumi jadi kacau, karena populasi singa dan binatang buas lainnya jadi meledak akibat ketersediaan makanan mereka yang tahu-tahu membludak berhubung ternak-ternak itu dianggurkan manusia. Fantastis, bukan? Mata kita justru tertutup dari fakta bahwa kondisi sekaranglah yang tidak beres, karena manusia mengadakan intervensi alam dengan industri peternakan dan mengadakan miliaran hewan ternak. Kenapa tidak terjadi ledakan populasi kecoak atau cicak di dunia? Karena manusia tidak beternak kecoak atau cicak.

Lebih lanjut, disebutkan pula:

“Intinya, menurut saya, dari rantai kehidupan yang kita jalani sekarang, vegetarian bukanlah solusinya. Jika industri ternak sebagai penyumbang pemanasan global terbesar dihentikan, bukan berarti faktor pencetus pemanasan global berhenti… Logikanya begini, industri ternak & populasi hewan besar karena kebutuhan manusia akan ternak yang besar. Kebutuhan ternak yang besar karena populasi manusia di dunia ini juga besar. Jadi, seharusnya LAJU POPULASI MANUSIA-lah yang harus dikendalikan. Jadikan pertumbuhan populasinya 0% di seluruh dunia. Ini mustahil juga kan? Jadi kampanye Penanggulangan Pemanasan Global saat ini sudah sangat terlambat. Tak ada kata terlambat, kita harus mengakui keterlambatan itu…”

Mari cermati pelan-pelan, benarkah industri ternak berkembang karena “kebutuhan” manusia? Jika benar isunya adalah butuh, bahwa manusia di Bumi ini “membutuhkan” hewan ternak sekian banyak demi memenuhi “kebutuhan” mereka, mengapa 3,6 miliar manusia mengalami kelaparan kronis? Mengapa 40 ribu orang mati setiap harinya karena kelaparan? Ke mana larinya enam miliar hewan ternak yang diadakan demi kebutuhan umat manusia? Ada 12 Mitos seputar isu “World Hunger”, dan mitos nomor tiga disebutkan: jumlah manusia yang terlalu banyak (www.worldhunger.org). Kita kerap berpikir, Bumi tak cukup memberi makan 6,5 miliar jiwa. Nyatanya, pertanian dunia masa kini mampu memberi makan semua manusia 2720 kalori per hari. Artinya, jumlah manusia bukanlah determinan mengapa kelaparan ada. Telah disebutkan, pakan ternak di Amerika tok sudah bisa memberi makan 1,3 miliar orang. Jadi, benarkah industri hewan ternak tumbuh karena manusia butuh? Menurut saya, industri ternak tumbuh karena nurani kita lumpuh. Demi profit, satu penelitian atas tikus setengah abad yang lampau menjadi acuan bagi kita untuk mengisi perut. Demi sepotong lidah panjang 10 senti, kita jadikan lambung kita kuburan bagi ratusan hewan, yang dalam kaca mata besarnya juga menjadi kuburan bagi saudara-saudara kita.

Satu catatan penting mengenai laju populasi manusia. Sesungguhnya, sejak tahun 1987, laju populasi manusia di dunia menurun dengan rata-rata pengurangan 2,1 juta manusia per tahun. Jika kecepatan ini bertahan, kita akan mencapai titik zero population growth dalam waktu dua puluh tahun (www.overpopulation.net). Dan kecenderungan dalam enam tahun terakhir bahkan menunjukkan penurunan yang berangsur lebih besar lagi. Jadi, apakah mungkin terjadi pertumbuhan populasi nol? Sangat mungkin. Kita bahkan sedang berproses menuju ke arah sana. Di atas kertas, kita bisa menganggap hal ini sebagai kabar baik. Namun, penurunan laju penduduk tidak selalu berarti “baik”, karena dalam penurunannya, yang terjadi adalah kelaparan meningkat, penyebaran penyakit bersifat epidemis, dan sebagainya. Dua faktor yang paling berperan adalah krisis pangan dan air, yang lagi-lagi bermuara pada faktor eksploitasi lingkungan yang tidak berpihak pada kelestarian alam.

Sekali lagi, mohon direnungkan dalam-dalam. Mengapa kita susah sekali mencerna fakta-fakta ini? Mengapa kita lebih mudah berspekulasi ketimbang bertindak? Mungkinkah karena ini adalah pembiasaan sistemik yang sudah begitu merasuki sistem berpikir kita, yang kemudian membentuk cara pandang kita terhadap hidup dan dunia?

Saya percaya, kunci spesies manusia bisa bertahan dan berevolusi hingga detik ini adalah karena kemampuannya beradaptasi. Itulah satu-satunya modal sejati kita untuk bertahan hidup. Perubahan menuju zaman baru tidak terelakkan, dan mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi. Dari detik kehidupan bermula, demikianlah rumusnya. Like it or not. Semua pemain dalam industri energi harus beradaptasi, mau tak mau. Para petani dan peternak, sama halnya dengan para pekerja lain di dunia yang terus berubah ini, harus beradaptasi, tanpa kecuali. Semua makhluk hidup harus beradaptasi dengan perubahan iklim, tanpa bisa menolak. Ada yang masih bertahan, ada juga ribuan spesies lainnya yang sudah punah, dan akan punah. Di akhir abad ini, beruang kutub diperkirakan akan punah. Bisakah Anda bayangkan, jika kita berpikir dari sudut pandang beruang kutub? Bagi mereka, mencairnya kutub adalah kiamat total. Sementara kita, manusia, masih bisa asyik berspekulasi ini-itu. Begitu banyak makhluk dipaksa beradaptasi di ujung batas hidup dan mati selagi saya dan Anda berkorespondensi lewat blog ini. Dalam hitungan detik, eskalasi kepunahan berbagai spesies terus meroket.

Saya tidak ambil pusing tentang spekulasi skenario perubahan pola makan dunia bukan karena tidak peduli. Tapi karena hal itu tidak sanggup saya kendalikan. Lalu untuk apa saya membuang waktu? Kadang-kadang, kita terus berlarut memikirkan orang lain dan situasi yang tidak bisa kita kendalikan, dan lagi-lagi, melupakan kendali yang paling riil dan bisa kita pakai segera: kendali pada diri kita sendiri. Sejenak, lupakan nelayan, lupakan peternak, lupakan pemerintah, lupakan siapa pun yang ada di luar diri Anda. Termasuk saya.

Sekarang, mari bertanya: siapa Anda? Apa yang Anda bisa lakukan? Menurut saya, dua pertanyaan itulah yang paling berarti. Sisanya fana.

Indonesia - RRI :


Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!

0 Response to "Dua Pertanyaan Yang Berarti"

Posting Komentar