Kisah Dua Belas Murid
Hari Rabu, 21 Juni 2006, di Dago Pojok no 36, berkumpul dua belas orang pendaftar pelatihan kompos. Super Kompos-14, demikian judul metoda hasil trial and error belasan tahun Ir. Nugroho Simson. Mendalami kompos merupakan pilihan beliau untuk mempercantik Bumi. Mereka yang hadir juga memiliki semangat serupa. Kebanyakan tidak punya pengalaman sama sekali tapi antusias untuk mencoba, seperti saya.
Peruntungan saya cukup baik dalam perihal kompos ini. Pak Sonson, dari PT Sinar Kencana yang menjual satu-satunya composting bin di Bandung, berbaik hati menghadiahkan saya satu set untuk dipakai di rumah, bahkan menawarkan diri menjadi pembina apabila aktivitas ini bisa diluaskan sampai tingkat RW.
Percaya atau tidak, dalam dari tiga hari perspektif saya berubah. Mata saya mendadak jelalatan melihat onggokan daun, sisa tebangan semak, atau limbah taman tetangga, dan setiap sore saya jalan kaki seputar rumah mencari kirinyuh—sejenis semak liar yang dijagokan Pak Nugroho karena kemudahannya dijadikan kompos. Sekarang, di belakang rumah sudah tersedia dua ember berisi potongan kirinyuh yang akan saya campur bersama sampah dapur setiap harinya dalam wadah pengomposan. Para pembantu di rumah juga saya beri crash course. Masing-masing mencoba mengadon dengan tangannya sendiri agar punya feeling untuk menentukan kelembapan adonan kompos yang pas.
Ada sepenggal kalimat dalam presentasi Pak Nugroho yang mengusik saya: “Lakukan hal kecil ini dengan setia.” Ketika saya mulai menjalani rutinitas mengolah sampah, saya makin tersadar bahwa hal ini memang sederhana. Tidak sulit, sungguh. Tak jauh berbeda dengan posisi pintu yang berubah, atau handel pintu yang ganti model. Intinya adalah pembiasaan diri. Mengubah rutinitas lama kita dengan pola baru. Namun melakukannya dengan komitmen dan kesetiaan, itulah yang membuat hal kecil menjadi besar.
Saya menyukai kompos karena keterlibatan yang disyaratkannya. Kita memilah, kita merajang, kita mengaduk, kita mengecek, kita menunggu. Incinerator tidak melibatkan kita sedalam itu. Kita cuma membakar dengan filter, itu saja. Incinerator menggunakan asas pemusnahan. Kompos menggunakan asas kelahiran baru. Kompos mengajak kita menghayati proses, mengapresiasi bakteri mesophilic, menghargai waktu, dan mencintai hasil.
Kalimat Pak Nugroho begitu gemilang karena kebenaran yang dikandungnya. Tidak ada yang besar atau luar biasa di dunia ini, sungguh. Segalanya adalah hal kecil yang dilakukan dengan setia. Proses panjanglah yang menjadikan sesuatu tampak besar. Dan berproses merupakan bahasa alam yang paling alamiah. Kita melihatnya di mana-mana melalui evolusi. Sebagaimana alam, kemanusiaan kita pun dapat ber-evolusi melalui komitmen kecil yang digulirkan dengan setia.
Saya menyukai kompos karena perubahan perilaku yang disyaratkannya. Inilah solusi yang sejati. Bukan dengan menyembunyikan sampah di balik gunung atau memusnahkannya dengan canggih. Yang sakit bukan sampah, tapi masyarakat penghasil sampah. Yang perlu disembuhkan adalah perilaku dari sang sebab, bukan memanipulasi akibat.
Slide terakhir dari Pak Nugroho berupa pesan yang berbunyi: “Jadilah terang bagi dunia.” Hmm. Sounds familiar, doesn’t it?
Saat pelatihan bubar, kami bagaikan dua belas murid yang diutus oleh guru kami untuk menyebarkan pemahaman sederhana ini: berproses dengan alam, dan alam akan memberimu berlipat ganda. Itu bukan mukjizat. Itu bukan pernyataan iman. Itu adalah fakta.
Dan guru itu bernama kompos.
Indonesia - RRI : Nature-Green-EcoLiving
Situs auto followers Twitter GRATIS tanpa SPAM! Klik mughunsa.blogspot.com. Dapatkan ribuan followers untuk akun Twitter Anda, cocok buat menaikan popularitas maupun menambah jualan online Anda!
0 Response to "Kisah Dua Belas Murid"
Posting Komentar